Rabu, 22 Mei 2013

AER TONDEI

Oleh Iswadi Sual






(media sosialisasi bagi masyarakat)
Monumen Aer Tondei
Sebelum pemekaran desa masyarakat Tondei terbagi berdasarkan kondisi teritori alamnya dengan istilah orang gunung; yang tinggal di daerah atas dengan kondisi tanah yang miring, orang li’ba; yakni orang yang tinggal di daerah bawah dengan kondisi tanah yang relatif rata. Wilayah li’ba pun terbagi dua yaitu yang disebut amonge yang tinggal di daerah utara bersama juga dengan orang-orang yang tinggal di lumopa dan ameko yang tinggal di daerah selatan yang dekat dengan bekas perkampungan yang disebut mawale. Setelah pemekaran desa Tondei menjadi Tondei yang juga disebut Tondei Induk, Tondei Satu, dan Tondei Dua. Sayang sekali ketika pemekaran tidak ada yang mengusulkan nama desa-desa itu sesuai dengan nama yang popular dan berkarakter kultural di tengah masyarakat. Setidaknya dengan begitu ada ingatan kolektif yang di bawah oleh nama desa yang bisa dicari oleh generasi selanjutnya.
Aer Tondei yang masih digunakan oleh warga tetapi sudah dalam kondisi yang berbeda.


Di tahun 90-an keadaan desa Tondei masih sangat terbelakang di mana kondisi transportasi sangat sulit karena minimnya kendaraan dan jalanan yang rusak dan sempit[1]. Listrik masih sangat terbatas bagi golongan menengah ke atas sehingga yang memiliki alat elektronik seperti radio dan televisi masih sangat minim juga. Tak heran di zaman ini orang Tondei sering berkumpul di rumah keluarga yang mempunyai alat tersebut hanya untuk menonton atau mendengar berita. Kadang-kadang jumlah massa yang terkumpul bisa berkisar ratusan di satu rumah keluarga. Waktu itu juga setiap tanggal 30 September pemerintah orde baru (orba) mengharuskan salah satu stasiun TV  menayangkan film G-30 S PKI untuk mengenang ke tujuh jendral yang menjadi korban kudeta di tahun 1965. Karena mangkage[2] orang Tondei sampai harus membayar karcis supaya bisa menonton di hari itu.
Lokasi Batu Payung dalam keadaan sekarang.
Pada masa itu, pagi dan sore hari anak-anak laki dan perempuan pasti akan sibuk dengan menimba air sebagai tugas rutin bagi mereka. Mereka akan membawa gelon dan ember – tetapi masa sebelumnya menurut keterangan orang tua bahwa mereka menggunakan bulu (bambu) yang dibuat seperti sareng[3]  untuk menimba air - dengan ukuran yang beragam sesuai dengan kemampuan mereka. Ada juga orang yang menggunakan roda khusus untuk menimba air jadi dia bisa mengangkat beberapa gelon sekaligus. Yang mempunyai alat ini juga terbatas untuk orang yang memiliki kemampuan ekonomi atau mereka yang mempunyai keterampilan membuatnya. Tetapi juga yang pasti mata air adalah tempat bertemunya orang desa – tak terbatas hanya bagi anak-anak tetapi untuk semua kalangan - untuk menimba air, mencuci baju, dan membersihkan diri.
Ada masa tertentu di desa Tondei ketika musim masih menentu dan masyarakat bisa memprediksikan hasil panen, musim kemarau akan menjadi salah satu pendorong mau tidak mau masyarakat akan tersentral pada mata air. Di desa ini ada beberapa mata air yang terkenal yaitu Aer Duriang[4] yang letaknya dekat dengan orang ameko, Aer Tondei[5] yang letaknya dekat dengan orang amonge, dan Aer  (di) Gunung[6] yang letaknya dekat dengan orang gunung. Tetapi dari ketiga mata air itu Aer Tondei dikenal dengan kebal kemarau panjang. Jadi walaupun kemarau panjang mata air itu tetap akan ada terus. Sehingga ketika mata air di daerah lain sudah mati maka seluruh masyarakat desa akan mengambil air di Aer Tondei. Dengan begitu proses sosialisasi antar warga dari ketiga wilayah itu pun akan terjadi.
Aer Orang Gunung dalam keadaan sekarang.
Karena tempat mandi dan menimba air sudah terpusat maka orang harus antri dan inilah yang juga menjadi momen orang desa mulai mengangkat bahan diskusi. Apalagi para pemuda dan bapak-bapak yang baru pulang dari kebun di sore hari pasti ingin melepas lelah dengan mandi di mata air yang segar. Di mata air ini dipisahkan untuk tempat mandi laki-laki dan perempuan tetapi untuk menimba air biasanya berlaku umum di satu. Sambil menunggu orang yang sedang menimba air dan mandi maka yang lainnya berdiskusi tentang pekerjaan, hasil pekerjaan, kondisi desa, dan bagaimana desa di masa depan. Tetapi tak jarang pula ada yang berdiskusi tentang urusan pribadi dan keluarga orang lain. Tak hanya positif yang didiskusikan tetapi juga yang negatif. Tetapi inilah kondisi masyarakat Tondei pada waktu itu di mana mata air menjadi pusat bersosialisasi. Semua golongan tak memandang clan, umur, gender disatukan di mata air ini. Dari gunung, ameko, dan amonge terkumpul di Aer Tondei yang merupakan sumber air desa yang juga sangat strategis tempatnya.
Tetapi setelah adanya air yang dikelola oleh desa yang sudah menggunakan bak penampung dan pipa penyalur air yang diambil dari mata air wanga  dan kantil maka mata air seperti aer tondei, aer duriang, dan aer gunung mulai ditinggalkan dan hampir dilupakan. Oleh karena air bisa diprivatisasi di rumah masing-masing. Dengan begitu berakhirlah sudah tradisi bersosialisasi setiap pagi dan sore di mata air. Orang-orang desa tidak lagi harus berlelah menimba air dan mandi di alam terbuka karena air sudah bisa diakses di rumah sendiri. Tetapi untuk mengenang bahwa ada tempat yang dulunya mediasi masyarakat bersosialisasi maka dibuatlah tugu peringatan agar orang bisa mengenang dan ingatan itu bisa diwariskan ke generasi selanjutnya.
Batu Lutau di dekat Aer Orang Gunung
Memang etos masyarakat pada umumnya bergerak dari sosial ke individual sehingga prinsip-prinsip kebudayaan, keumuman, dan kebersamaan menghilang. Privatisasi menggerogoti nilai-nilai tertentu dalam masyarakat bahkan sampai pada vitalitas nilai itu sendiri. Seperti prinsip mapalus (maando) yang sebenarnya telah diinterpretasikan sebagai hubungan simbiosis mutualisme dalam konteks kepentingan individual. Telah hilang kesadaraan kebersamaan dalam masyarakat sehingga sebuah sumbangan baik fisik dan non-fisik selalu pamrih. Ini mengindikasikan bahwa vitalitas dalam masyarakat tentang etos budaya telah hilang sama sekali. Yang ada hanyalah jejak (trace) kebudayaan itu sendiri yang mungkin bisa digunakan untuk bernostalgia atau sekedar pemuasan intelektual saja.


Glorya dan Queen di Batu Lutau.

[1] Karena kondisi ini sehingga muncul pernyataan dari desa tetangga bahwa tunggu babi nae kalapa baru oto maso di Tondei. Sebuah pernyataan yang berkonotasi tak mungkin bagi desa Tondei untuk di kunjungi kendaraan bermotor/beroda empat.
[2] Kata ini menyangkut gairah atau semangat karena keterpesonaan akan sesuatu yang baru sehingga orang tersebut sangat berantusias menanggapinya.
[3] Tempat untuk menampung tombal/saguer (air nira) dari pohon seho (enau) yang diolah menjadi gula merah atau captikus.
[4] Aer Duriang ini juga berdekatan dengan lokasi bekas perkampungan yang disebut mawale dan di tempat ini juga ada sebuah batu lisung.
[5] Letak Aer Tondei juga berdekatan dengan Batu Payung yang menurut orang Tondei memiliki kekuatan mistis yang berfungsi menjaga desa dari perampokan atau orang yang bermaksud jahat. Disebut Batu Payung karena bentuknya yang menyerupai payung dan terletak di samping atas jalan.  Dengan batu itu segala maksud jahat akan dihalau oleh batu tersebut. Tetapi ketika ada pelebaran jalan maka batu itu sengaja dijatuhkan tapi menurut keterangan orang tua semua pekerja yang menjatuhkan batu itu meninggal. Itu karena mereka tidak mendengar nasihat tua-tua desa bahwa batu itu mempunyai kekuatan mistis. Ketika mereka berusaha menjatuhkan batu itu butuh waktu berjam-jam dan walaupun sudah digali begitu dalam batu itu tak kunjung jatuh. Tapi itu tidak membuat para pekerja itu percaya dengan kekuatan mistisnya dan terus berusaha sampai batu itu jatuh.
[6] Aer Gunung ini juga disebut Aer Kantil atau Aer Raanan karena letaknya juga dekat dengan Kuala (sungai) Raanan. Mata air ini juga berdekatan dengan batu lutau atau batu lisung yang juga dipercayai masyarakat memiliki kekuatan mistis. Benda ini masih dalam perdebatan apakah kuburan (sarkofagus) atau tugu peringatan (menhir) yang diwariskan oleh kebudayaan Minahasa.

Diculik Lo’lok



Oleh Iswan Sual
 
 
 
Herdi tak pulang-pulang rumah sejak siang setelah kembali dari sekolah. Memang, dia sempat pamit pada ibunya untuk bermain dengan kawan-kawannya, anak-anak tetangga. Biasanya dia sudah pulang. Dan seharusnya begitu. Teman-temannya juga kini sudah asyik berkelakar dengan orang tua mereka di rumah. Jelas kedengaran dari rumah Herdi. Matahari sudah lama bersembunyi di balik samudra luas.
Agar keresahan tak semakin menggunung tak pasti, ibu Herdi mengunjungi rumah tetangganya satu per satu. Sambil bertanya dan melihat-lihat anaknya kalau-kalau ada di sana. Seolah ada bisikan sesuatu telah menimpah anaknya. Naluri seorang ibu begitu kuat. Dia yakin akan hal itu.
“Herdi dengang torang tadi. Da main sama-sama di belakang. Torang da bayoya di pohong-pohong kopi. Torang pangge-pangge pulang tadi mar dia nimau. Cuma bayoya trus,” ujar teman Herdi terbata-bata. Gugup karena merasa diinterogasi.
Satu jam telah berlalu. Kini ayah Herdi juga ikut mencari. Padahal dia baru pulang dari kebun. Profesinya sebagai Ma’gula dengan kerja yang amat berat sebenarya bisa menjadi alasan untuk tidak langsung turun tangan mencari anaknya. Kalian mungkin tahu bagaimana beratnya menjadi seorang Ma’gula.  Pagi-pagi sekali, kira-kira jam lima, dia bangun lalu berjalan kaki sejauh tiga kilo meter. Rerumputan yang masih basah oleh embun turut menyumbang rasa dingin ke tubuh lelaki itu. Menusuk tulang. Ngilu bukan main. Sasampai di sana satu per satu pohon enau dipanjatnya, turunkan sareng berisi air nira dengan menggunakan tali. Berikutnya mengiris pusu’ yang mengeluarkan nira itu.
Setelah semua pohon aren penghasil nira dipanjat, kurang lebih sepuluh, tiba waktunya menghidupkan api untuk merebus air nira. Sambil menunggu air susut, dia pun harus mencari kayu bakar di hutan yang agak jauh dari sabuah, pabrik tradisional dimana dia memasak gula. Saat penyusutan sudah mencapai tahap paling, air nira yang sudah menjadi kental dituangkan ke tempurung. Di ujung sore sekali lagi pohon aren dipanjat untuk diambil niranya kemudian direbus. Wah, pekerjaan yang membutuhkan tenaga dan kesabaran luar biasa.
Jam dinding bermerk Sonny terpatri di dinding menunjukkan kini sudah pukul 21.00. Ayah Herdi sudah melaporkan ke Hukum Tua bahwa anaknya, satu-satunya tak pulang rumah sejak keluar pukul 10 tadi pagi. Pengeras suara yang diletakkan di ujung pohon tertinggi di tengah kampung berkoar-koar menghimbau seluruh warga menyiapkan alat penerang dan kelengkapan lainnya untuk menemani mereka mencari anak sembilan tahun yang hilang.
***
Jam 06.00 sore (sebelum dinyatakan hilang)
Tanaman kopi rimat berhimpitan membuat gelap lahan luas di belakang hunian penduduk berjarak 200 m dari rumah Herdi. Di tengah-tengah, terdapat beberapa tanaman dengan batang sebesar kaki orang dewasa. Tanaman itu condong nyaris merayap di atas tanah. Gerombolan anak tahun terakhir SD di kampung itu suka sekali datang bermain monyet-monyetan. Mereka doyan berayun berjam-jam sambil menirukan Tarzan atau bintang film silat Cina yang lagi populer di desa. Ayunan alamiah yang disuguhkan oleh tanaman kopi yang berjejer itu sangat memanjakan anak-anak. Mereka merindukan ayunan saat masih bayi sebelum disapih.
“Di, marjo pulang. So ja barinte. Kalu balama disini torang mo basa. Mo dapa mara eta’ ya!”
Bukanya menoleh pada temannya, Herdi malah sibuk berbincang sendiri. Begitulah anak-anak. Berbicara sendiri tanpa lawan bicara adalah hal lumrah. Mereka mampu mementaskan sesuatu secara monolog di atas panggung nirpenonton. Monolog itu bukan hanya bakat melainkan berkat lahir yang akan berangsur-angsur punah seiring dengan bertambahnya usia anak-anak.
“Herdi…Di…Herdi!”
Gerimis yang datang beriringan dengan kepergian matahari ke ufuk barat memaksa kawanan anak cepat-cepat pulang ke rumah mereka masing-masing. Herdi semakin serius dengan monolognya. Bukan monolog. Ternyata dia berdialog.  Dengan seorang-orang yang hanya bisa dilihat oleh dia sendiri. Mahkluk itu meminta Herdi akan terus bermain ayunan. Herdi pun merasa ibah dengan permintaan orang bertubuh kecil. Tiga kali lipat lebih kecil.
Mata Herdi merem. Dia serasa akan hanyut berlayar ke pulau kapuk. Tapi dia tak mau tidur. Dia ingin bermain ayunan di pohon kopi lagi.
“Ayo kita bermain lagi.”
Manusia bertubuh kecil itu terus mendesak. Wajah elok mereka menambah ketertarikan Herdi larut dalam permmeainan berayun dengan bergayut pada cabang-cabang pohon.
“Ayo ikut kami.”
“Kemana?”
“Ke tempat kami.”
Herdi pun turut dengan manusia kecil. Dan kini jumlah mereka meningkat. Bergerumbul mereka berjalan menuruni bukit. Kian jauh dari perkampungan. Akhirnya mereka tiba di pancuran. Tempat mereka biasa mandi. Banyak bebatuan berjejer dan bertumpuk.
“Masuk yuk!”
Dahi Herdi mengerut. Dalam keadaan setengah sadar muncul curiga dalam benaknya. Mengapa aku harus masuk ke celah batu. Mana bisa masuk. Gumamnya. Mahkluk-mahkluk kecil satu persatu masuk melalui celah. Ini tak masuk akal. Walaupun aku masih anak-anak, tapi ini benar-benar di luar jangkauan berpikirku. Kata Herdi dalam hati.
“Kita pulang saja yuk,” ajak Herdi pada mahkluk kecil yang paling banyak berkomunikasi dengannya semenjak sore tadi. Berkali-kali mahkluk mengajar menembus celah batu, namun Herdi tetap menolak.
Mereka pun kembali menelusuri jalan yang mereka lewati sebelumnya. Yang mengherankan, hari sudah malam namun jalan dimana mereka melangkahkan kaki terang benderang seperti mendapat cahaya lampu sorot.
“Ayo kita berayun lagi.”
Kini Herdi lupa untuk pulang. Namun hatinya resah. Dia melihat orang jumlah besar dengan obor dan lampu petromaks menuruni bukit menuju pancuran dari mana dia dan kawan kecilnya datang. Orang betulan. Bukan mahkluk kecil. Dipanggilnya ayahnya yang lewat. Tak ada sahutan. Dilihat pun tidak. Herdi diliputi ketakutan. Dengan susah payah dia melangkah pulang ke rumah. Di halaman rumah dilihatnya banyak wanita dewasa dan anak bergunjing tetang sesuatu hal. Tentang seorang anak yang hilang. Dia menyapa orang-orang itu. Tapi mereka tak sedikit pun ambil pusing. Herdi menjerit tak bersuara.
“Herdi! Herdi! Oh Tuhan, napa tu Herdi, “ seorang wanita berteriak Histeris. Di kuping terdengar dengungan memekak. Orang-orang berkerumun. Menangis. Herdi pun histeris. Menangis ketika kerumunan secara bergantian menyentuhnya. Seperti hilang kekuatanya. Seorang wanita memeluknya dan mengguncang-guncangnya. Herdi terbangun dari setengah tidurnya. Kini tak ada lagi rasa takut.

MENANG JADI ABU, KALAH JADI ARANG

Sebuah Cerpen



Oleh Iswan Sual, S.S
Kabut kecil masih hinggap di rambut Lolombulan. Embun masih enggan melompat dari dedaun ke tanah. Burung-burung nampak berkawan, bermain di langit yang agak pekat. Sama-sama sedia menyambut mentari. Tapi masih ada banyak celah terlihat terang. Ada harapan mentari kan datang.
Seorang bertubuh kekar dengan rambut kelimis berjalan tergesah menuju sebuah rumah. Rumah terbesar di desa itu. Ada kegarangan terlukis di wajahnya. Senyum telah lari meninggalkannya kala dia tahu seorang yang bernama Marten menghalangi pekerjaan pembukaan jalan desa. Dia merasa itu merupakan ancaman bagi kepentingannya.
“Jadi bagaimana ini Hukum Tua? Masa anda sebagai kepala desa seperti singa ompong. Apa anda takut pada seorang buta huruf dan yang tak pernah kerja bakti itu?”
Lelaki bertubuh ceking namun tinggi berjalan mondar-mandir. Pikirannya tak menentu. Kedua tangan yang menyilang di belakang dikepal. Dahi mengerut. Usianya terlihat lebih tua dua tahun dibanding tadi pagi sewaktu melayani pelanggannya di kolong rumah yang sudah dialih fungsi menjadi gudang kopra. Kelakar dengan pelanggannya terjadi spontan dan terkesan tulus. Mungkin sebagai salah satu cara menahan agar mereka tak lari ke pembeli kopra lain. Namun, sangat kentara bahwa senyuman dan tutur katanya yang bersahaja dan hangat terlukis tak dibuat-buat.
Kini lainnya ceritanya. Kedatangan seorang pria berbadan tegaplah yang mengusir semua aura positif itu. Pria yang datang dengan beberapa orang itu tak hentinya bicara. Dia mencoba dengan keras meyakinkan sesuatu soal. Sekilas dari jauh tampak lelaki yang banyak bicara itu derajatnya lebih tinggi daripada pria ceking berkulit agak gelap. Nantinya saat dia menggunakan seragam lengkap dengan atribut dan segala tanda heran baru orang tahu bahwa dia bukan rakyat biasa. Melainkan seorang Tonaas. Seorang kepala negara dalam sebuah kampung berpenduduk 4000 orang. Kepala desa. Seorang yang dipilih secara langsung karena dikenal baik oleh masyarakat. Merupakan cerminan demokrasi yang identik dengan yang pernah terjadi di Athena sebelum Masehi.
“Kita harus mengambil tindakan konkrit. Bila tidak, maka kepentingan umum akan kalah oleh kepentingan pribadi. Dan bapak sebagai kepala desa harusnya jangan lengah. Menutup akses jalan adalah kejahatan. Dan kejahatan itu lebih dari perbuatan komunis!”
Kalimat terakhir dirasa sebagai ancaman. Tentu Hukum Tua enggan disebut sebagai pembela komunis. Meskipun, tak ingin dia ikut-ikutan memberi label komunis pada penghalang akses jalan itu. Dia tak mau juga dicap sebagai pemelihara tumbuhnya kekuatan dan pengaruh komunis di desanya. Sadis benar, memang! Melabeli seseorang dengan kata komunis adalah upaya manjur untuk menundukkan orang-orang kampung yang coba membangkang pada pemerintah. Padahal, ada kepentingan pribadi di terbungkus rapih di dalamnya
“Kita harus cepat bertindak. Sebelum terlambat,” kata lelaki berpakaian rapih dengan gaya bicara sok terpelajar itu lagi.
Kurang lebih lima menit Hukum Tua hilang di atas pentas di mana lelaki tadi sedang gencar melangsungkan aktingnya. Kepala Desa muncul tiba-tiba dengan pakaian seragam mirip punyanya Hansip. Bedanya, kepala desa tidak mengenakan sepatu but. Dia hanya beralaskan sandal kulit, kasual. Karena percumalah memakai sepatu bersemir ketika harus turun lapangan mengontrol dan ikut bekerja bersama rakyat.
Memang, hari Senin di kampung kami disebut sebagai hari pemerintah. Istilah yang menakutkan. Istilah yang menonjolkan kekuasaan. Seharusnya sebutannya adalah hari desa. Sebagaimana hari Rabu tak disebut sebagai hari pendeta melainkan hari gereja.
Setelah tampak sudah siap, rombongan kepala desa berjalan dengan langkah panjang-panjang menuju lokasi pekerjaan umum. Sesuai dengan pengumuman di pengeras suara Kerja Umum berlokasi di tengah-tengah kampung. Berhadapan dengan bekas halaman kantor Hukum Tua. Di antara rombongan yang beserta Hukum Tua ada dua anggota Hansip. Satuan pengamanan militeris di tingkat desa atau kelurahan.
Saat rombongan Hukum Tua tiba, terdengar teriakan dari dalam rumah, “Walaupun saya mati, saya tak akan membiarkan sejengkal tanah ini diserahkan.” Suara lelaki dari dalam  rumah terlempar keluar dengan sengaja.
Masyarakat yang telah terkumpul, sebagian besar pria, sontak mengarahkan pandangan ke dalam rumah dari mana suara bersumber. Rombongan Hukum Tua terlibat pembicaraan serius. Si lelaki rapih bicara lantang sambil menuding-nuding ke arah sumber suara dalam rumah.
“Kerja saja. Tak usah dihiraukan. Ini demi kepentingan bersama,” Hukum Tua angkat suara. Akhirnya keberpihakan telah tampak. Rupanya desakan pria berpakaian rapih itu mujarab juga.
Bebunyian berdering yang bersumber dari alat kerja yang mayoritas besi serentak menguasai lokasi tempat kerja. Hanya beberapa orang saja yang tampak hanya berdiri bertopang pada alat yang seharusnya dipakai. Tak tahu kenapa. Mungkin enggan atau takut pada raungan amarah dari dalam rumah. Atau mungkin saja mereka masih menunggu kejelasan siapa yang harus didengar Hukum Tua atau si pemilik tanah.
Tiba-tiba sekeluarga dalam rumah  berhamburan keluar. Situasi menjadi mencekam. Tadinya banyak terdengar guyonan di antara sesama warga masyarakat. Kini pekerjaan mendadak berhenti. Seorang ibu meraung-raung histeris. Dia berusaha menelanjangi dirinya di depan orang banyak. Untung beberapa ibu tetangga berhasil menyerbu dan mencegah agar bagian tubuh yang terlalu pribadi itu tak dipertontonkan ke sejumlah lelaki yang umumnya telah beristri.
“Setan kalian! Mentang-mentang kalian berkuasa seenaknya merampas tanah orang miskin! Semestinya kalian membantu orang seperti kami. Orang yang miskin dan tak berpendidikan cukup. Malah kalian rampasi. Saya tidak takut! Walaupun saya mati, saya takkan mengijinkan kalian mengambilalih tanah saya!”
Beberapa Hansip berlari. Langsung mengerumuni pria yang sudah setengah uzur. Berdiri gagah dia menghalangi orang-orang yang tengah mengobrak-abrik tanah dimana rumahnya berdiri.
“Babi ngoni! Anjing! Pemerintah macam apa ngoni?”
Pria pemilik tanah merontah membabi buta. Beberapa kali tinju Hansip mendarat di wajahnya. Masyarakat yang turut menyaksikan kekerasan fisik yang dilakukan petugas keamanan sontak menghentikan pekerjaan. Geram mereka melihat Hukum Tua dan rombongannya. Masyarakat memperlihatkan muka masam sebagai tanda tak setuju dengan tindakan semena-semena aparat keamanan. Aparat yang seharusnya mengayom.
“Marten, ini demi kepentingan bersama! Kyapa ngana kapala batu.  Dimana ngana pe pemberian for negara?” kata Hukum Tua berusaha menenangkan keliaran pria pemilik tanah.
“Pengorbanan! Pih! Ngoni yang snang. Kita orang kecil jadi korban! Tai babi deng ngoni. Jalang yang sebenarnya bukang di sini. Mar disana. Cuma, karna kita orang kacili, ngoni datang deng rombongan kong injang-injang pa kita deng ta pe bini. Lawut deng ngoni samua! Ngoni pe pemerenta deng pe jabatan di greja kita junjung tinggi. Mar ngoni pe pribadi ta taru di lubang panta! Karna dorang orang orang ada, ngana kapala desa nda brani mo tindaki. Kita bilang satu kali lagi e; jalang yang sebenarnya di sebelah sana. So dari kit ape tete pe tete jalang memang so disitu. Bukan di tanah ini. Pa kita p kintal. Mo kamana lei kita mo taru kita pe ruma? Kalau ini jadi jalang, kita tinggal dimana? Dorang pe tana banya. Kalu mo bacirita pengorbanan, bicara pa dorang yang banya tana. Bukang pa kita!”
Hukum Tua tertunduk malu. Hati nurani telah berbicara. Masyarakat pulang sambil memikul cangkul, linggis, pakowel dan sekop. Tak ada tanda kecewa terlukis di wajah mereka. Malah senang. Walaupun tak turut berjuang bersama Marten, mereka pulang dengan raut wajah kemenangan. Sementara pria berpakaian rapih menunjukkan rasa tidak puas. Beberapa waktu setelah itu dia memaksa pemerintah desa membuat surat laporan kepada pihak yang berwajib dengan isi surat menguraikan bahwa pembuatan jalan umum dihalang-halangi. Tidak lupa juga disentil bahwa itu merupakan tindakan berbau komunis. Dengan terpaksa kepala desa mengiayakan. Dia berusaha tidak mengecewakan pihak manapun. Dia berupaya bertindak lembek ke kedua belah pihak. Namun sikapnya yang plin-plan membuatnya terseret terlalu jauh oleh arus yang diciptkan pria berpakaian rapih itu. Perkara itupun sampai di pengadilan. Baik pihak kepala desa maupun Marten tak ada yang menang. Putusan hakim menyatakan Marten yang benar. Namun, kalau dihitung-hitung, yang menag menjadi abu sedangkan yang kalah menjadi arang. Kedua pihak digerogoti habis oleh mafia hukum: jaksa, pengacara, panitera dan Hakim.
Namun, bagi Marten, itu tetap kemenangan. Setidaknya, walau uang banyak terkuras habis, sampai harus menggadai kwartal-empat bulan panen kelapa, bagaimanapun haknya diakui di depan hukum. Dan orang akan percaya bahwa keadilan masih bisa ditegakkan asalkan diperjuangkan. Sebab, kita masih di dunia. Harus terus berjuang. Beda dengan surga. Di sana tak ada lagi yang perlu diperjuangkan. Semua telah disediakan.
Selesai pada hari Minggu 11 November 2012 di Marore

LOLOMBULAN, AKU MENAKLUKANMU

Oleh Iswadi Sual




(Bapontar)

Kabut dan mendung. Gunung dengan berbagai mitos tentang kegaiban. Lolombulan. Tempat di mana pernikahan Toar dan Lumimuut dilangsungkan. Mungkin berbagai mitos dan cerita tentang gunung ini membuatnya ngeri dan juga memiliki daya tarik tersendiri sehingga orang ingin menjelajahinya.
Sekitar pukul 14.00 pada 09 Mei 2013 aku bersama kakakku dan beberapa teman berjalan (dari roong Tondei) dengan bekal seadanya menuju puncak Lolombulan. Tak jelas apa arti lolombulan. Ada yang mengatakan bahwa lolombulan artinya seperti bola emas. Ada yang mengatakan rembulan karena di tempat ini masyarakat sekitar melihat bulan penuh (purnama). Tapi aku pikir  itu hanya spekulasi sejenis mitos untuk memuaskan rasa ingin tahu. Semangat adalah modal dasar untuk mendaki gunung. Berapa pun tingginya pasti tak jadi soal. Naik, naik, dan naik. Perlu energi untuk mendaki gunung ini. Air tak kalah penting. Mendaki gunung tanpa air minum adalah kecerobohan. Bisa-bisa mati karena dehidrasi. Kita tak bisa mengandalkan potensi alam seperti air dari rotan atau sungai karena jarak tempuh untuk menjangkaunya tak pasti. Jadi perlu membawa bekal air seperlunya. Berjalan melintasi perkebunan punti dan juga perkebunan rarem. Rarem memiliki sungai kecil dengan air sedingin es. Melintasi daerah ini kami merasakan udara yang begitu dingin.
Nafas ditarik dan dihembuskan dengan cepat. Respirasi yang tak biasanya karena ini seperti bukan berjalan. Mungkin ini sesuatu yang disisipkan antara berjalan dan memanjat. Kondisi jalan begitu miring. Kami melewati kawasan talung im bolai[1]. Ada beberapa kawanan yaki yang menggantung di pepohonan. Spesies ini hampir punah karena masyarakat di sekitar gemar berburu. Juga hampir tak ada tempat lagi untuk spesies ini karena tekanan ekonomi menyebabkan masyarakat memperluas daerah perkebunan dan pertanian mereka sampai ke area hutan lindung. Gunung menjadi daerah berburu, berkebun, dan bertani sehingga banyak makhluk kehilangan rumah. Ada juga penebangan kayu di daerah-daerah mata air sehingga berakibat menurunnya jumlah air untuk pasokan masyarakat. Tetapi kebutuhan mengalahkan etika alam. Illegal logging dan penebangan pohon untuk kebutuhan pembuatan rumah pribadi jelas memiliki dampak yang sama terhadap kehancuran lingkungan. Ekonomi modern memang mengabaikan ekosistem dan membuat manusia ‘merusak demi pertumbuhan’.
 Tak tahu apa mereka (kawanan yaki) takut melihat manusia atau justru gembira bertemu dengan makhluk yang berkerabat secara evolusi. Sempat terbesit di benakku bahwa keinginan manusia menjelajahi alam karena ada kerinduan pada mahkluk-makhluk yang berkerabat dengannya. Mungkinkah kami juga seperti itu? Berharap agar segera tiba di puncak membuat kami memaksa diri untuk tetap bergerak terus tetapi senja memaksa agar kami segera berhenti dan mendirikan tenda. Hewan-hewan siang saling memberi tanda untuk berhenti beraktivitas seolah juga itu adalah tanda buat kami. Setelah gelap hewan malam kini sibuk beraktivitas sehingga aku berpikir mereka telah membagi tugas sebagai penjaga siang dan penjaga malam. Hewan-hewan ini telah menyadari sepenuhnya bahwa alam harus dijaga karena itu rumah mereka. Tenda kami didirikan di atas tanah yang miring sehingga dalam perjalanan tidur kami sesekali terbangun dan mendapati diri bergerak terluncur perlahan. Malam ini harus ada pergantian jaga malam. Harus! Kalau tidak berarti kami siap dengan risiko dimangsa binatang buas atau binatang berbisa lainnya. Lantera menyinari malam di tengah hutan dan mungkin hewan-hewan di sekitar merasa terusik dengan kehadiran kami. Mungkin kami tamu tak diundang atau dianggap makhluk perusak tempat tinggal mereka. Sesekali aku berkomunikasi dengan alam dan menyatakan maksud kami berada di hutan ini. Setelah beberapa teguk cap tikus aku memutuskan untuk tidur. Kami tidur dan tak jelas apakah kami dekat dengan puncak atau masih jauh.
Subuh, 10 Mei 2013 terjadi keributan. Burung berkicau saling membangunkan hewan-hewan siang. Itu tanda mereka harus gantian menjaga alam. Kami bangun. Membongkar tenda dan kembali mendaki menapakkan kaki. Apakah puncak sudah dekat? Tak pasti. Kali ini beberapa di antara kami, termasuk aku, sering menjerit karena tertusuk duri. Kawasan ini penuh duri. Seakan ini adalah penolakkan alam terhadap kehadiran kami. Mungkin mereka terlanjur menganggap manusia adalah perusak alam. Seseorang di antara kami ditugaskan untuk berjalan di depan untuk membuka jalan. Maklum, kami melintasi kakayung dan jorame. Kira-kira sejam keadaan tanah mulai datar. Ini sudah di puncak! Hore! Perasaanku begitu riang. Kami mengamati sekitar dan berspekulasi bahwa ada babi dan ayam hutan yang selalu bermain di sini. Aku ingin berteriak. Jangan! Berbahaya! Gunung ini anti suara bising. “jang brani bakuku kalo mo nae lolombulan. Langsung weta mo gelap ya. Ta sala ilang ngoni di atas”. Itu pesan masyarakat jika berada di puncak lolombulan. Ingat ini etika lolombulan.
Kami berhenti di tanah yang datar dan membuat api untuk membuat makanan. Seorang temanku memperhatikan kakinya dipenuhi bintik-bintik hitam. Ada yang kecil ada juga yang besar. Aku teringat bahwa lolombulan juga terkenal dengan lintah. Ini gunung lintah. Temanku berusaha membersihkan kakinya tetapi ternyata yang menempel di kakinya bukan becek tetapi lintah yang sedang lahap menghisap darah dan semakin membesar. Kami semua memeriksa sekujur tubuh kami dan mendapati masing-masing ada linta yang hampir kenyang dengan darah kami sendiri. Uniknya, makhluk ini tak bisa dilepaskan dari tubuh kita dengan cara menariknya dengan kasar. Kita harus mengelus dan menariknya perlahan agar bisa terlepas. Jika ditarik dengan paksa maka itu akan membuat tubuh kita terluka dan mengucurkan darah yang banyak. Jadi kami mulai waspada dengan makhluk ini. Kini kami harus bergulat dengan dua makhluk penghisap darah. Nyamuk dan lintah.
Setelah selesai makan dan memandang sekitar aku mulai tersadar bahwa di depan mataku berdiri dengan kokoh gunung yang tinggi. Ternyata kami belum berada di puncak yang sebenarnya. Ada rasa tidak enak dalam hati. Ternyata akan ada kelelahan lagi. Tetapi tujuan kami memang harus menaklukkan lolombulan. Kami harus berjalan lagi tetapi akan diawali dengan menurun dan menanjak lagi. Lolombulan memiliki tiga puncak dan yang di tengah adalah puncak yang paling tinggi. Sementara kami bersiap-siap perlahan kabut menyelimuti gunung itu. Apakah itu tanda larangan? Ada desas-desas di desa bahwa ada beberapa orang yang hilang di gunung ini karena melanggar etika alam. Ada juga cerita tentang penggalian harta karun di puncak gunung ini. Dulu, katanya, di puncak gunung ini ada tuguh yang didirikan tetapi ada sekelompok orang merusaknya dan mencoba menemukan harta karun tepat di bawah tuguh ini. Menurut cerita masyarakat sekitar orang-orang ini meninggal selang tiga hari setelah merusak tuguh itu. Ada juga cerita bahwa di puncak ada peninggalan leluhur Malesung. Aku berpikir mungkin ada di antara kami yang akan menjadi korban di pendakian ini. Langkah pertama mengawali kelelahan. Kini jalanan lebih rumit. Ada nyamuk, duri, dan lintah. Satu lagi! Lintah kini bertambah banyak dan ada yang berwarna. Aku bisa melihat makhluk-mahkluk itu berpindah-pindah. Sangat geli dan kami harus lebih was-was. Setiap sepuluh langkah kami memeriksa tubuh kami dan mendapati begitu banyak lintah menempel.
Tanah datar. Oh syukurlah. Lolombulan, aku menaklukkanmu! Aku mempercepat langkahku tetapi tiba-tiba menanjak lagi. Aku mulai marah. Ada juga rasa putus asa. Mungkinkah aku harus melupakan puncak gunung ini dan kembali pulang saja? Aku mencoba membangkitkan semangat dan berjalan terus. Akhirnya puncak pun ku gapai. Harapanku sebelum mendaki gunung ini adalah melihat pemandangan dan beristirahat di puncaknya. Tetapi tak ada pemandangan. Kabut tebal menyelimuti gunung ini. Beristirahat semalaman juga tak mungkin. Banyak lintah. Teman-teman takut membuat tenda dan tidur semalaman di puncak gunung ini kemudian mendapati diri di pagi hari kehilangan banyak darah. Walau pun kemudian kami diberi tahu bahwa lintah hanya menghisap darah kotor saja. Aku kecewa. Kekecewaan itu pun tak bisa dilampiaskan. Ingat etika lolombulan; dilarang berteriak. Kami berjalan menurun dengan rasa kecewa. Aku baru tersadar bahwa selama perjalanan ada satu hal yang banyak menyita penglihatanku di tengah hutan, banyak dodeso. Ada lompit, torak, kapiring, litau, lolombeng dan berbagai jenis perangkap lainnya. Hutan ini memang tempat berburu.
Aku berjalan terhuyung-huyung kelelahan menuruni gunung. Awalnya aku kecewa tetapi ada bisikan kemenangan yang membuat aku merasa puas dengan perjalanan ini. Benar. Lolombulan, aku menaklukanmu!
mencicipi nikmatnya aer kuala rarem
menuju talung im bolai


for makang malam

cap tikus dan shag pengantar tidur

kaki-kaki korban lintah

tangan korban lintah

kaki korban lintah

menurun menuju wanua Malola


[1] Frase ini dari talung i wolai tetapi mengalami perubahan dalam pengucapan sehingga menjadi talung im bolai. Talung artinya hutan; i (yang menjadi im) artinya kepunyaan; wolai (yang menjadi bolai) artinya yaki atau monyet.

SENDE’U KIABA



Oleh Iswan Sual
Ada seorang pemuda bernama Pret Sual. Dia terkenal sebagai seorang lucu dan rajin berdagang. Cakupan kegiatan dagangnya sampai ke tanah Bolaang Mongondow. Dimana-mana dia pergi kelakar dan kelucuannya selalu ikutserta. Perawakannya yang kecil serta kulitnya yang agak gelap menyamarkan keasliannya sebagai orang Minahasa. Jadi, ketika dia mengaku-ngaku sebagai orang dari satu tempat dan dengan nama tertentu orangpun percaya. Mereka takkan menyangka bahwa dia sebetulnya orang Minahasa. Dia pernah menyamar dengan nama Sende’u Kiaba. Temannya yang menemaninya pergi berdagang ke segala penjuru menyaksikan hal itu. Dia selalu saja hampir dibuat mampus oleh kejenakaan Pret. Maka, diapun dia dipanggil Sende’u Kiaba sampai ketika dia pulang ke kampungnya. Temannya itu yang mempopulerkan nama itu.
Ketika batibo gula sudah tidak cukup memberikan penghasilan bagi Pret, dia memutuskan untuk berganti profesi. Karena bertepatan lagi musim pemetikan cengkeh dia memutuskan untuk menjadi pemetik cengkeh. Suatu pagi dia berteriak historis di tengah perkebunan. Para pemetik cengkih yang lain kaget dan keheranan.
“Tolong! Tolong! Tolong!” teriak Pret.
Awalnya para pemetik hanya mengacuhkan saja. Sebab mereka tahu bahwa itu suara Pret. Dan mereka selalu percaya Pret akan berbuat usil.
“Tolong saya! Tolong saya! Tolong!!” teriak Pret semakin melengking.
PrĂȘt berseru sangat keras namun lama kelamaan dia teriakkannya semakin melemah. Para pemetik yang tengah sibuk memetik demi mencapai target memetik seratus liter. Mereka memikirkan bonus yang diberikan oleh majikan. Bonus yang tak tanggung-tanggung akan sangat membuat mereka gembira dan senang bukan kepalang. Satu kerat botol bir dan beberapa bungkus rokok.
“Tolong!” teriakkan terakhir sangat mencurigakan.
Para pemetik lain di sekitar menunggu teriakkan lain tapi tak ada. Mereka berpikir dan merenung sejenak. Tak sampak lima detik semua pemetik yang berada di lalako teratas tangga bergegas turun. Seolah tak peduli mereka akan terjatuh. Semua teman-teman pemetik  Pret akhirnya punya pikiran yang sama tentang Pret. “Pasti telah terjadi sesuatu yang buruk pada Pret. Kali ini pasti dia sungguh-sungguh minta tolong.”
Merekapun berlari seperti dikejar-kejar hantu menyusuri bidang tanah yang miring. Mereka terpelanting-pelantung karena lebatnya rerumputan. Semua panik tak menentu. Pret tergeletak tak berdaya di samping tangga yang juga tergeletak. Mereka kebingungan mencari-cari tahu keadaan Pret. Pelan-pelan Pret bergerak. Seolah baru tersadar dari pingsan.
“Tolong kitia. Tolong se badiri akang kitia pe tangga. Dari tadi kita mo sandar ini cingkeh mar berat skali. Nda mo ta angka. Ne, blum ada kita da pete,” kata Pret nyaris tertawa.
Teman-temannya yang tadinya mengira bahwa Pret kecelakaan, akhirnya terpaksa membantu Pret dengan berat hati.

DOTI



Sebuah cerpen
 

Iswan Sual
Di sebuah gubuk kecil di tengah hutan. Pergilah kesana Tuama. Saat dia tiba tak nampak seorang pun dalam gubuk. Pintu dan jendelanya tertutup rapat. Serombongan burung taun lewat di langit  yang kian pekat. Burung titicak terdengar ribut di dahan-dahan pohon yang rimbun. Terdengar seperti debat kusir para wakil rakyat yang sama sekali bukan sebagai upaya untuk memperbaiki nasib rakyat. Melainkan hanya berkutat pada kepentingan sesaat mereka mumpung masih menjabat. Tuama sedikit kecewa karena tak melihat orang yang perlu ditemuinya. Enggan dia melangkah mendekat ke gubuk tua reyot itu. Apalagi gelap semakin dekat. Lebih baik pulang sebelum malam tiba.  Bisiknya pada dirinya sendiri.
“Aweang ona’ re’e perlu?[1]” kata seorang kakek tiba-tiba.
Dengan kaget Tuama menoleh ke arah suara serak dan agak kasar itu. Di hadapannya telah berdiri seorang pria lusuh sedang memikul cangkul dan menjinjing tiga atau empat singkong yang berukuran sedang-sedang saja. Tanah tebal masih menempel pada singkong-singkong itu. Titik-titik cairan getah menetes dari ujungnya yang sempat terluka oleh sabetan cangkul. Bagai jarum jam yang berdetak mengantar mereka di lorong gelap.
“Eng karu’ e om![2]” sedikit terbata-bata Tuama mulai menguraikan maksudnya.
Dipersilahkan pria tua itu Tuama masuk ke dalam gubuknya. Gubuk dan orang yang tinggal di dalamnya patut dikasihani. Gubuk itu rasanya tak cukup untuk melindungi mereka dari dinginnya malam. Selah-selah pada dinding bambunya melebar setiap hari berganti. Panas dan hujan bekerjasama dengan rayap-rayap menambah kelapukan. Barangkali besok atau lusa pria  itu harus segera membangun gubuk yang baru.
“Sebenarnya kedatangan saya kesini ada kaitannya dengan rasa sakit yang sudah kualami berhari-hari ini om. Aku sudah mencoba pergi berobat ke kota. Seperti yang disarankan oleh pendetaku. Tapi, kata dokter tak satu pun penyakit terdeteksi bersarang dalam tubuhku. Memang, beberapa anggota keluarga sudah menyarankan agar aku langsung ke sini bulan yang lalu karena mereka yakin bahwa yang aku derita ini bukanlah penyakit biasa. Tapi setiap kali aku mulai keluar rumah, sepertinya si pendeta sudah punya firasat, dia selalu mencegahku. Katanya, ‘Jangan mencari kesembuhan pada berhala-berhala.’ Aku berusaha taat pada perkataannya. Tapi, rasa sakit di telinga dan kepalaku mendesak agar aku segera mencari pertolongan. Karena bagiku dokter dan dukun sama saja. Mereka adalah alat Opo Kasuruang Wangko. Pendeta lebih menganjarkan perawatan dokter karena lebih masuk akal. Sementara pengobatan tradisional, karena kurangnya pemahaman, dianggapnya sebagai pekerjaan setan. Saya kadang heran. Ketidakinginan untuk belajarnya menghalanginya untuk memahami model perawatan itu. “
Panjang lebar Tuama bercerita kepada kakek itu. Termasuk kapan gejalah penyakit mulai dia rasakan. Semua penjelasannya hanya disambut dengan anggukan kepala. Tapi mata kakek itu menyiratkan bahwa otaknya bekerja berat membuat kesimpulan-kesimpulan yang mendekati kemungkinan. Dia lalu meminta Tuama pergi ke kebun dimana dia selalu menghabiskan waktunya menggembalakan sapi.
“Mange an terung an uma nu wo indongenu sanga kompol en amporang ambitu. Bungkusengio wo aling mi’i. indong ki’i siou rosi. Ta’ang ca toro wo ca ro’na remoma’ a se tou si pa’pesungkelennu.”[3] Kata kakek
Tanpa membuang waktu lagi Tuama pun bergegas pergi menuju kebunnya. Dia melakukan semua persis seperti yang diarahkan. Dan dia kembali membawa abu sisa pembakaran dan menyerahkannya kepada sang dukun. Saat dia kembali di atas meja telah tergeletak dua piring pusaka yang telah ditutup dengan kain merah. Di antara ke dua piring itu tergelar juga sebuah keris emas kecil yang juga dililiti kain merah. Tuama sama sekali tak terkejut dengan benda-benda itu. Karena semua itu selalu dilihatnya di rumah kakeknya yang bernama Hero. Bahkan isi sompoi kakeknya punya lebih banyak barang-barang lain. Barang-barang tak seorang pun boleh menyentuhnya.
“Ada orang yang marah padamu. Karena kamu tak mau bertukar sapi dengan dia. Dia sangat suka dengan sapimu. Kain hitam yang dililit rambut ini kutemui dalam abu sisa bakaran yang kamu bawa. Sakit yang kamu alami adalah ini penyebabnya. Tapi masih ada satu lagi. Coba buka mulut mu dan hembuskan nafas ke bunga ini….. ya ternyata ini. Dia menyelipkan kepingan puntung rokok dan barang pecah belah ke dalam tubuh dengan bantuan mahluk gaib. “
Tuama berusaha menyangsikan uruaian sang dukun. Tapi, sakit yang dia derita berangsur pergi. Kesembuhan telah terjadi. Tapi, tak sepata kata hujatan pun keluar dari mulut sang dukun. Aku pun ingat seseorang yang kerap berkunjung ke rumahku. Orang yang memaksakan kehendaknya agar kami melakukan barter sapi. Hewan yang Tuama gunakan sekali seminggu untuk batibo[4] ke kota Kotamobagu. Negeri yang pernah menjadi pusat kekuasaan Loloda Mokoagow, raja besar Bolaangmongondo. Aku tak menyangka orang yang ku panggil kakak itu tega melakukan praktik doti[5] terhadap Tuama. Dia menggunakan wentel[6] untuk mencelakai orang. Sungguh sangat bertentangan dengan ajaran tetua mereka. Sebuah wentel adalah anugerah, pemberian cuma-Cuma dari yang maha kuasa dipergunakan untuk kejahatan.
“E Tuama. Sa ico mesungkul si tou niitu. Ca toro ico ma’bow asia. We’e a si Opo Kasuruang oka eng pamulengengnu. Kinela’ana kua sa sia semea’em.”[7]
Tuama pulang dalam keadaan bingung. Bukan oleh karena perkataan sang dukun. Melainkan perkataan pendeta yang melarangnya pergi ke dukun. Betapa kelirunya dia. Karena ketidaktahuan dan ketidakmauan untuk belajarlah yang menyebabkan dia memiliki prasangka buruk pada praktik yang adalah warisan leluhur. Ternyata, apapun yang ada di dunia ini adalah ciptaan Tuhan yang bisa digunakan secara benar dan salah. Kebenaran dan kesalahan ternyata adalah soal tahu dan tidak tahu.
Tondei, 17 Maret 2013


[1] Ada perlu mungkin? (Bhs Tontemboan)
[2] Iya benar Om! (Bhs Tontemboan)
[3] Pergilah ke ladangmu dan ambilah abu sisa sisa pembakaran di sebuah gubuk. Bungkuslah dan bawa kesini. Bawa juga Sembilan kuntum bunga mawar. Namun, jangan bicara dengan siapapun yang kamu temui.
[4] Berjualan langsung ke pasar setelah melaksanakan perjalanan jauh.
[5] Menyebabkan orang lain sakit, celaka atau mati secara mistik.
[6] Jimat
[7] “Nak, bila kamu bertemu dengan orang itu. Tak usahlah  kamu memarahi dia. Serahkan pada Tuhan saja tanggungan dan penderitaanmu itu. Dia telah menyadari kesalahannya.”

BUNGLON




sebuah cerpen

Iswan Sual
Pantat kini panas karena lama telah saling gesek  dengan kursi kayu batang kelapa. Mata juga kian terseok-seok  menelusuri jalanan huruf  bertumpuk rapih di atas kertas putih. Tambah lagi penerangan terlampau kikir. Kuputuskan keluar dari gedung berisi berbagai buku itu saat itu juga.
Pas di depan gedung kurogoh ponsel lebar berwarna coklat dari kantong celana jinsku yang juga berwarna coklat. Kuambil beberapa gambar gedung itu dengan menggunakan kamera ponsel yang lumayan bagus hasilnya. Sebagai tanda mata bahwa aku sudah pernah berkunjung ke perpustakaan daerah sulawesi utara. Perpustakaan penampung buku antik.
Keadaan di atas kepala sana gelap pekat. Butir-butir air mulai berjatuhan dari langit. Namun, mobil di jalan yang lalulalang kian padat dan tergesah-gesah. Niatku untuk menyeberangi jalan terhadang.  Butir air kian banyak jatuh menghantam wajah. Maka akupun nekat menyeberang.
“Pemai ngana!” teriak sopir dengan mata hampir lepas.
Aku balas memandanginya dengan tatapan seorang waraney. Ca wana parukuan, cawana pakuruan. Kekesalan sang sopir tak bisa dilampiaskan karena begitu banyaknya penumpang dalam mikronya. Pasti akan ada lebih dari lima orang yang akan membentaknya bila ia tak mengurungkan niatnya untuk turun dan mengapa-apakan diriku.
Butiran air yang sebesar kerikil kecil semakin banyak turunnya. Calon pasukan Paskibraka yang ada di tengah lapangan berhamburan berlari menuju tribune yang berhadapan dengan kantor walikota kota Manado. Tak ada halangan buatku untuk kesana juga. Tribune itu adalah tempat berteduh yang tepat agar tak basah oleh tumpahan air dari langit.
“Baris! Baris! Cepat..cepat! Jang santai ngoni!”
Teriakan senior kepada adik-adik calon paskibraka itu membawaku ke masa lalu. Saat di mana aku masih sekolah di Amurang dulu. Kala itu kak Azis menarikku seperti babi yang haram bagi dia ke tengah-tengah lokasi pekuburan. Beberapa kali tulang keringku beradu dengan sudut-sudut runcing kubur.  Aku tahu bahwa aku sedang dibawa untuk ditakut-takuti. Memang benar. Saat tutup mata kubuka, aku dilepaskan begitu saja di kuburan yang baru berumur tiga hari. Lilin dan kransnya masih baru.
“Woi! Menghayal ngana!”
Tiba-tiba lamunan masa laluku kabur tungganglanggang kembali ke masa lampau. Kucari tempat untuk menaruh pantatku untuk beristirahat. Gadis-gadis bertubuh tinggi dan berambut pendek berdiri tegak. Dua kelompok barisan berhadapan. Kakak senior yang tak terlalu tinggi itu berdiri di tengah berkacak pinggang. Sungguh pongah! Senior-senior yang adalah anggota paskibraka tahun lalu bergentayangan di antara barisan. Yang  lelaki mencari-cari kesalahan perempuan. Begitu pula sebaliknya. Rasa ingin bersentunhan dengan junior  mereka samarkan dengan marah-marah atau atau pura-pura membetulkan atribut. Topi sering menjadi sasaran. Namun, gara-gara gugup, bukannya jadi betul malah menjadi kacau. Dasar senior! Ada-ada saja.
“ini sudah tanggal 12 Juli! Sekali lagi ya, ini sudah tanggal 12! Kok gerakkan kalian tak ada perubahan sih. Serius kwa kalu latihan. Biar le ada ngana pe tamang, pe orang tua, pe cowo ato cewe, pandangan tetap kedepan. Ngoni ini mo pikul tugas brat. Ngoni suka mo beking malu dang?”
“Siap tidak kak!”
Mataku mengunjungi peserta satu persatu. Di antara pasukan putri ada dua yang berjilbab merah. Sepertinya mereka kembar.  Lekuk tubuh masih nampak biarpun mereka menggunakan seragam treining yang sangat longgar. Kulit putih dan tubuh sintal mereka membangkitkan hasrat kelakilakianku. Wajah ayu mereka menimbulkan ingin untuk kembali ke masa lalu. Alangkah berbahagianya kekasih-kekasih gadis-gadis ini.
Sesekali pandanganku kulempar jauh bila tiba-tiba gadis-gadis itu membalas tatapanku. Dari kejauhan kulihat kain biru panjang bergelayut di pinggang gedung walikota. Di tribune dimana ku bertedu juga demikian. Kok bisa ya? Seharusnya kan berwarna merah putih. Aha! Betul-betul. Baru kuingat sekarang. Walikotanya seorang yang diusung oleh partai berwarna biru. Pantas saja gedung perkantoran kebiru-biruan. Di Tondano bulan lalu saat dilaksanakan kegiatan perkemahan pemuda, wilayah itu didominasi warna kuning. Kantor-kantor pemerintahan juga begitu. Ternyata bisa ya. Kantor dan fasilitas umum bisa diwarnai apa saja sesuka pejabatnya. Gedung-gedung dan kantor-kantor seperti bunglon yang kerap berganti warna bila penguasa berganti.